Rabu, 01 Mei 2013

PENANAMAN RUMPUT GAJAH DI LAHAN GAMBUT


I.        PENDAHULUAN


1.1.                 Latar Belakang
Hijauan merupakan sumber makanan utama bagi ternak ruminansia untuk dapat bertahan hidup, berproduksi serta berkembangbiak. Produksi ternak yang tinggi perlu didukung oleh ketersediaan hijauan yang cukup dan kontinyu. Sumber utama hijauan pakan adalah berasal dari rumput. Salah satu rumput yang sangat potensial dan sering diberikan pada ternak ruminansia adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum). Rumput ini merupakan salah satu rumput unggul tanpa adanya persilangan dengan rumput lainnya. Rumput gajah (Pennisetum purpureum) ini mempunyai produksi yang cukup tinggi, anakan yang banyak dan mempunyai akar yang kuat, batang yang tidak keras serta mempunyai ruas-ruas yang pendek, daunnya lebih lebar (BET, 1997).
Untuk dapat memenuhi kebutuhan akan hijauan makanan ternak perlu dilakukan penanaman hijauan pada lahan yang subur. Penanaman hijauan makanan ternak pada lahan yang subur akan menghasilkan produktivitas hijauan makanan ternak yang lebih baik dibandingkan pada lahan kritis atau kurang subur. Selama ini yang menjadi kendala peternak adalah berkurangnya lahan subur untuk menanam hijauan makanan ternak karena adanya alih fungsi lahan, perumahan, industri, persawahan, perkebunan, dan sebagainya.
Adapun lahan subur yang jarang dimanfaatkan oleh manusia sebagai media pertumbuhan hijauan makanan ternak adalah tanah gambut dan tanah mineral. Tanah gambut adalah tanah yang terbentuk dari endapan bahan organik yang berasal dari penumpukan jaringan sisa-sisa tumbuhan baik yang sudah mati maupun yang masih hidup. Sedangkan tanah mineral adalah tanah pada lapisan bagian atas dibawah lapisan humus yang umumnya terdapat pada tanah dibawah hutan yang bahan organiknya kurang dari 20%.


1.2.        Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah dapat memberikan informasi kepada mahasiswa atau dosen tentang kandungan nutrisi dari rumput gajah yang ditanam di tanah gambut dan tanah mineral.
1.3.      Manfaat
            Laporan praktikum ini diharapkan bermanfaat untuk
1.      memberikan informasi yang tentang kandungan nutrisi rumput gajah yang ditanam pada tanah gambut dan tanah mineral.
2.      memberikan informasi yang tentang kandungan nutrisi rumput gajah yang ditanam pada tanah mineral.



















II.       TINJAUAN PUSTAKA


2.1.      Rumput Gajah (Pennisetum Purpureum)
            Pakan merupakan salah satu faktor penting dalam usaha peternakan. Pada usaha peternakan ternak ruminansia ketersedian pakan sepanjang tahun sangat diperlukan guna memenuhi kebutuhan ternak. Pemberian pakan yang kurang mencukupi kebutuhan nutrisinya akan mengakibatkan pertumbuhan dan produksi ternak akan terganggu, selain itu pakan juga merupakan faktor penentu yakni besar atau kecilnya biaya produksi yang harus dikeluarkan untuk memperoleh produk dari ternak. Hal ini dikarenakan pada usaha peternakan biaya pakan ternak merupakan bagian terbesar yakni 60 – 75 % dari total biaya produksi (Widiati dan Aryana, 1993).            Salah satu Hijaun Makanan Ternak (HMT) yang memiliki tingkat produksi yang tinggi dan dapat mencukupi kebutuhan pakan ternak yaitu rumput Rumput gajah (Pennisetum Purpureum) adapun  jumlah produksi rumput gajah dapat mencapai 20 – 30 ton/ha/tahun, (Ella, 2002). Achmad. W, (2009) menyatakan bahwa Rumput gajah merupakan bahan sumber serat yang masih memiliki kandungan nilai nutrisi cukup tinggi, disamping itu rumput gajah merupakan jenis rerumputan parenial yang ketersediannya melimpah pada musim hujan. Selain itu, Rumput gajah (Pennisetum purpureum) merupakan jenis rumput unggul yang memiliki kandungan zat gizi yang cukup tinggi serta disukai oleh ternak ruminansia .
            Rumput gajah mempunyai produksi bahan kering 40 sampai 63 ton ha-1 tahun-1 (Siregar, 1989), dengan rata-rata kandungan zat-zat gizi yaitu : protein kasar 9,66%, BETN 41,34%, serat kasar 30,86%, lemak 2,24%, abu 15,96%, dan TDN 51% (Hartadi dkk., 1986 dan Lubis, 1992). Nilai gizi rumput gajah sebagai hijauan makanan ternak ditentukan oleh zat-zat makanan yang terdapat di dalamnya dan kecernaannya. Nilai gizi rumput gajah dipengaruhi oleh fase pertumbuhan pada saat pemotongan atau penggembalaan (McIlroy, 1977). Rumput gajah sebaiknya dipotong pada fase vegetatif, untuk menjamin pertumbuhan kembali (regrowth) yang sehat dan kandungan zat-zat gizi yang optimal.
            Pemeliharaan tanaman rumput gajah dilakukan dengan penyiangan dan penyulaman tanaman yang mati. Tanaman rumput gajah setelah berumur 60 hari dilakukan pemotongan untuk penyeragaman pertumbuhan dengan tinggi pemotongan 15 cm dari permukaan tanah. Penyiangan dilakukan agar pertumbuhan kembali tanaman tidak terganggu oleh tumbuhan pengganggu. Pemotongan yang terlalu berat dengan tidak memperhatikan kondisi tanaman akan menghambat pertumbuhan tunas yang baru sehingga produksi yang dihasilkan dan perkembangan anakan menjadi berkurang. Sebaliknya pemotongan yang terlalu ringan menyebabkan pertumbuhan tanaman di dominasi oleh pucuk dan daun saja, sedangkan pertumbuhan anakan berkurang (Ella, 2002).
2.2.      Tanah Gambut
            Gambut adalah tanah organik yang tingkat kesuburannya relatif rendah, ditandai dengan rendahnya pH (tanah masam) dan unsur hara (N, P, K, Ca, Mg), sehingga nilai kapasitas tukar kation Al3+ dan proses pelindian menjadi sangat besar (Darmawijaya, 2000).
            Menurut Soekardi dan Hidayat (1988) Penyebaran gambut di Indonesia meliputi areal seluas 18.480 ribu hektar, tersebar pada pulau-pulau besar Kalimantan, Sumatera, Papua serta beberapa pulau Kecil. Dengan penyebaran seluas sekitar 18 juta ha maka luas lahan gambut Indonesia menempati urutan ke-4 dari luas gambut dunia setelah Kanada; Uni Sovyet dan Amerika Serikat. Kalimantan Barat merupakan propinsi yang memiliki luas lahan gambut terbesar di Indonesia yaitu seluas 4,61 juta ha, diikuti oleh Kalimantan Tengah, Riau dan Kalimantan Selatan dengan luas masing-masing 2,16 juta hektar, 1,70 juta hektar dan 1,48 juta hektar. Gambut terbentuk dari timbunan bahan organik yang berasal dari tumbuhan purba yang berlapis-lapis hingga mencapai ketebalan >40 cm. Proses penimbunan bahan sisa tumbuhan ini merupakan proses geogenik yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama (Hardjowigeno, 1996).
            Pembentukan gambut diduga terjadi pada periode Holosin antara 10.000 – 5.000 tahun silam. Menurut Andrisse (1988) gambut di daerah tropis terbentuk kurang dari 10.000 tahun lalu. Gambut pantai di Asia Tenggara umumnya berumur kurang dari 6.000 tahun, pengukuran umur gambut dari Serawak dengan metode radio-meteri 14C menunjukkan bahwa gambut serawak terbentuk maksimum sekitar 4.300tahun lalu. Gambut di Florida, Amerika Serikat, ternyata juga terbentuk 4.400 tahun lalu (Lucas, 1982 dalam Andrisse, 1988). Waktu pembentukan yang hampir bersamaan ini terjadi karena peristiwa mencairnya es didaerah kutub pada awal Holosin meyebabkan naiknya permukaan air laut dan menenggelamkan dataran pantai yang rendah diseluruh dunia. Kenaikan permukaan air laut menyebabkan pula dataran pantai di Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya dan pulau-pulau lainya terendam menjadi rawarawa.
            Harjowigeno (1996) menyatakan bahwa kondisi anaerob yang tercipta karenapenggenangan dataran pantai merupakan kondisi penting dalam pembentukan gambut pantai. Gambut pantai mulai terbentuk dari akumulasi bahan organik didaerah belakang tanggul sungai (levee) yaitu daerah back swamp. Pada saat gambut masih tipis akar tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di gambut dapat mengambil unsur hara dari tanah mineral dibawah gambut selanjutnya gambut terbentuk diperkaya dengan unsur hara dari luapan air sungai. Tumbuhan yang tumbuh cukup subur dan kaya mineral sehingga gambut yang terbentuk juga subur (gambut topogen). Dalam perkembangan selanjutya gambut semakin tebal dan akar tumbuhan yang hidup digambut tidak mampu mencapai tanah mineral di bawahnya, air sungai tidak mampu lagi menggenangi permukaan gambut. Sumber hara utama pada gambut ini hanyalah dari air hujan sehingga vegetasi yang tumbuh menjadi kurang subur dan menyebabkan gambut yang terbentuk menjadi gambut miskin hara. Gambut ini disebut sebagai gambut ombrogen.
            Noor (2001) menambahkan bahwa ketebalan gambut, lapisan bawah, dan kadar lengas gambut merupakan sifat-sifat fisik yang perlu mendapat perhatian dalam pemanfaatan gambut. Berdasarkan atas tingkat pelapukan (dekomposisi) tanah gambut dibedakan menjadi: (1) gambut kasar (Fibrist ) yaitu gambut yang memiliki lebih dari 2/3 bahan organk kasar; (2) gambut sedang (Hemist) memiliki 1/3-2/3 bahan organik kasar; dan (3) gambut halus (Saprist) jika bahan organik kasar kurang dari 1/3. Gambut kasar mempunyai porositas yang tinggi, daya memegang air tinggi, namun unsur hara masih dalam bentuk organik dan sulit tersedia bagi tanaman. Gambut kasar mudah mengalami penyusutan yang besar jika tanah direklamasi. Gambut halus memiliki ketersediaan unsur hara yang lebih tinggi memiliki kerapatan lindak yang lebih besar dari gambut kasar.          
            Tanah gambut mempunyai kerapatan lindak (bulk density) yang sangat rendah yaitu kurang dari 0,1 gr/cc untuk gambut kasar, dan sekitar 0,2 gr/cc pada gambut halus. Dibanding dengan tanah mineral yang memiliki kerapatan lindak 1,2 gr/cc maka kerapatan lindak gambut adalah sangat rendah. Rendahnya kerapatan lindak menyebabkan daya dukung gambut (bearing capasity) menjadi sangat rendah, keadaan ini menyebabkan rebahnya tanaman tahunan seperti kelapa dan kelapa sawit pada tanah gambut. Tanah gambut jika di drainase secara berlebih akan menjadi kering dan kekeringan gambut ini disebut sebagai irreversible artinya gambut yang telah mengering tidak akan dapat menyerap air kembali. Perubahan menjadi kering tidak balik ini disebabkan gambut yang suka air (hidrofilik) berubah menjadi tidak suka air (hidrofobik) karena kekeringan, akibatnya kemampuan menyerap air gambut menurun sehingga gambut sulit diusahakan
            Untuk mengurangi kandungan Al yang sangat besar pada tanah-tanah masam pada umumnya dilakukan pengapuran, dengan adanya pemberian kapur dapat diharapkan kandungan Al yang terlarut didalam tanah dapat dikurangi, sehingga akan terjadi peningkatan pH tanah, dengan demikian secara langsung ketersediaan nitrogen, phosphor, kalium dan kalsium di dalam tanah akan meningkat (Jones,1992).
            Tingginya kemampuan gambut menyerap air menyebabkan tingginya volume pori-pori gambut, mengakibatkan rendahnya kerapatan lindak dan daya dukung gambut (Mutalib et al, 1991). Akumulasi gambut akan menyebabkan ketebalan gambut yang bervariasi pada suatu kawasan. Umumnya gambut akan membentuk kubah (dome), semakin dekat dengan sungai ketebalan gambut menipis, kearah kubah gambut akan menebal, di Kalimantan Barat kubah gambut di Sungai Selamat dapat mencapai 8 m, demikianpula pada daerah rasau Jaya. Ketebalan gambut berkaitan erat dengan kesuburan tanah. Gambut ditepi kubah tipis dan memiliki kesuburan yang relatif baik (gambut topogen) sedang di tengah kubah gambut tebal >3m memiliki kesuburan yang relatip rendah (gambut ombrogen)
            Lapisan bawah gambut dapat berupa lapisan lempung marine atau pasir. Gambut diatas pasir kuarsa memiliki kesuburan yang relatip rendah, jika lapisan gambut terkikis, menyusut dan hilang maka akan muncul tanah pasir yang sangat miskin. Tanah lapisan lempung marin umumnya mengandung pirit (FeS2), pada kondisi tergenang (anaerob) pirik tidak akan berbahaya namun jika didrainase secara berlebihan dan pirik teroksidasi maka akan terbentuk asam sulfat dan senyawa besi yang berbahaya bagi tanaman. Kemasaman tanah akan memningkat pH menjadi 2-3 sehingga tanaman pertanian akan keracunan dan pertumbuhan terhambat serta hasil rendah.
2.3.      Tanah Mineral
            Tanah mineral adalah tanah pada lapisan bagian atas di bawah lapisan humus, yang umumnya terdapat pada tanah di bawah hutan.
Litososl           
            Litosol merupakan tanah yang sangat muda, sehingga bahan induknya sering terlihat dangkal atau < 20 cm, profilnya belum memperlihatkan horison penciri dengan sifat-sifat dan ciri morfologi yang masih menyerupai batuan induknya. Tanah litosol tidak berkembang karena pengaruh iklim yang lemah atau terlalu agresif, letusan gunungapi, atau topografi dengan kemiringan yang tinggi. Proses pembentukan tanah lebih lambat dari proses penghilangan tanah akibat dari erosi, sehingga solum tanah cenderung semakin dangkal. Proses peremajaan tanah dapat terjadi akibat dari tertutupnya permukaan tanah karena banjir lahar dingin atau tuf vulkanis. Tanah litosol yang berada pada topografi yang tidak rata maka lingkungan alkalis dapat menyebabkan lempung 2/1 yang terbentuk sangat peka terhadap erosi. Tanah litosol ini banyak terdapat pada daerah pegunungan kapur dan karst di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa tenggara, serta Maluku bagian selatan.


Tanah Aluvial
            Tanah Aluvial merupakan tanah endapan yang terjadi karena proses luapan banjir, sehingga dapat dianggap masih muda dan belum ada diferensiasi horison. Endapan aluvial yang sudah tua dan menampakkan akibat pengaruh iklim serta vegetasi tidak termasuk kedalam jenis tanah aluvial. Ciri khas pembentukkan tanah aluvial adalah bagian terbesar bahan kasar akan diendapkan tidak jauh dari sumbernya. Tekstur tanah yang diendapkan pada waktu dan tempat yang sama akan lebih seragam, dan semakin jauh dari sumbernya maka makin halus butir yang diangkut. Karena itu jika pembentukan terjadi pada musim hujan maka sifat bahan-bahannya juga tergantung pada kekuatan banjir serta asal dan macam bahan yang diangkut, oleh karena itu menampakkan ciri morfologi berlapis yang bukan merupakan hasil perkembangan tanah. Sifat tanah aluvial dipengaruhi langsung oleh sumber bahan asal, sehingga kesuburannya juga ditentukan oleh sifat bahan asalnya. Jika dilihat berdasarkan genese tananhnya, maka tanah aluvial kurang dipengaruhi oleh iklim dan vegetasi, tetapi yang paling nampak pengaruhnya pada ciri dan sifat tanahnya ialah bahan induk dan topografi sebagai akibat dari waktu terbentuknya yang masih muda. Menurut bahan induknya terdapat tanah aluvial pasir, lempung, dan kapur. Dengan memperhatikan cara terbentuknya maka fisiografi untuk terentuknya tanah ini terbatas pada lembah sungai, datarn pantai, dan bekas danau, yang memiliki relief datar dan cekung. Tanah aluvial di Indonesia pada umumnya baik untuk komoditas pertanian dan perkebunan berupa padi, palawija, dan tebu. Tanah aluvial di indonesia ada pula yang dimanfaatkan untuk tambak bandeng dan gurameh.
Tanah Pasiran
            Tanah pasiran pada umumnya belum jelas membentuk diferensiasi horison, meskipun pada tanah pasiran tua horison sudah mulai terbentuk horison A1 lemah berwarna kelabu, mengandung bahan yang belum mengalami pelapukan. Tekstur tanah pada umumnya kasar, struktur kersai atau remah, konsistensi lepas sampai gembur, dan pH 6 – 7. Semakin tua umur tanah struktur dan konsistensinya makin padat, bahkan dapat membentuk padas dengan drainase dan porositas yang terhambat. Pada umumnya jenis tanah ini belum membentuk agregat, sehingga peka terhadap erosi. Tanah pasiran pada umumnya mengandung unsur P dan K yang masih segar dan belum siap untuk diserap tanaman, tetapi unsur N terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit.

























III.     MATERI DAN METODE


3.1.      Tempat dan Waktu
            Pengambilan sampel rumput gajah dilaksanakan pada tanggal 3 Desember 2012. Praktikum ini akan dilakukan di laboratorium Nutrisi dan Kimia Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN SUSKA Riau. Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 4-5 Desember 2012.
3.2.      Bahan dan Alat
3.2.1.   Bahan
            Hijauan pakan ternak yang akan ditentukan nutrisinya adalah Pennisetum purpureum (rumput gajah). Jenis tanah yang digunakan adalah tanah gambut dan tanah mineral. Bahan yang digunakan dalam analisis kandungan nutrisi rumput gajah adalah HCl, K3SO4, MgSO4, NaOH, H3BO, Eter, Benzena, CCl4, dan pelarut.
3.2.2.   Alat
            Alat yang digunakan :
1.      Tali
2.      Parang
3.      Plastic
4.      Gunting
5.      Kejeltee
6.      Soklet
7.      Fibertec
8.      Tanur listrik
9.      Crucible tang
10.  Alat destilasi
11.  Erlenmeyer
3.3.      Metode
            Metode yang dilaksanakan dalam praktikum ini adalah riset sesuai dengan prosedur.
3.4.      Parameter yang diamati
            Kandungan nutrisi rumput gajah meliputi :
1.      Bahan Kering
2.      Protein Kasar
3.      Serat Kasar
4.      Lemak Kasar
5.      Abu
3.5.      Prosedur Praktikum
            Prosedur dimulai dari pengambilan sampel rumput gajah. Kemudian rumput gajah dikering angin-anginkan lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C selama 8 jam, setelah itu sampel dianalisis di Laboratorium Nutrisi dan Kimia Fakultas Pertanian dan Peternakan Uin Suska Riau.

















IV.    HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1.      Kandungan Bahan Kering Rumput Gajah
            Berdasarkan hasil anlisis kandungan nutrisi rumput gajah didapatkan bahwa kandungan bahan kering rumput gajah yang ditanam pada tanah gambut adalah 25.28% dan pada tanah mineral adalah 20.34%. Produksi bahan kering dari hijauan tiap unit tanah tergantung pada jenis tanaman yang dipakai, jumlah radiasi sinar matahari, tersedianya kelembaban tanah dan zat-zat makanan untuk tanaman dan cara pengolahan (Williamson and Payne, 1993).
4.2.      Kandungan Protein Kasar Rumput Gajah
            Berdasarkan hasil anlisis kandungan nutrisi rumput gajah didapatkan bahwa kandungan protein kasar rumput gajah yang ditanam pada tanah gambut adalah 3.50% dan pada tanah mineral adalah 3.93%. Protein kasar adalah nilai hasil bagi dari total nitrogen ammonia dengan faktor 16% (16/100) atau hasil kali dari total nitrogen ammonia dengan faktor 6,25 (100/16). Faktor 16% berasal dari asumsi bahwa protein mengandung nitrogen 16%. Kenyataannya nitrogen yang terdapat di dalam pakan tidak hanya berasal dari protein saja tetapi ada juga nitrogen yang berasal dari senyawa bukan protein atau nitrogen nonprotein (non–protein nitrogen /NPN). Dengan demikian maka nilai yang diperoleh dari perhitungan diatas merupakan nilai dari apa yang disebut protein kasar (Kamal,1998).
4.3.      Kandungan Serat Kasar Rumput Gajah
            Berdasarkan hasil anlisis kandungan nutrisi rumput gajah didapatkan bahwa kandungan serat kasar rumput gajah yang ditanam pada tanah gambut adalah 28.43% dan pada tanah mineral adalah 32.53%. Serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menentukan kadar serat kasar yaitu asam sulfat (H2SO4 1,25%) dan natrium hidroksida (NaOH 1,25%). Piliang dan Djojosoebagio mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan serat kasar ialah sisa bahan makanan yang telah mengalami proses pemanasan dengan asam kuat dan basa kuat selama 30 menit yang dilakukan di laboratorium. Dengan proses seperti ini dapat merusak beberapa macam serat yang tidak dapat dicerna oleh manusia dan tidak dapat diketahui komposisi kimia tiap-tiap bahan yang mengandung dinding sel.
4.4.      Kandungan Lemak Kasar Rumput Gajah
            Berdasarkan hasil anlisis kandungan nutrisi rumput gajah didapatkan bahwa kandungan lemak kasar rumput gajah yang ditanam pada tanah gambut adalah 2% dan pada tanah mineral adalah 2%.
4.5.      Kandungan Kadar Abu Rumput Gajah
            Berdasarkan hasil anlisis kandungan nutrisi rumput gajah didapatkan bahwa kandungan kadar abu rumput gajah yang ditanam pada tanah gambut adalah 4.293% dan pada tanah mineral adalah 7.61%. abu adalah sisa pembakaran sempurna dari suatu bahan. Suatu bahan apabila dibakar sempurna pada suhu 500-600ºC selama beberapa waktu maka semua senyawa organiknya akan terbakar menjadi CO2, H2O dan gas lain yang menguap, sedang sisanya yang tidak menguap inilah yang disebut abu atau campuran dari berbagai oksida mineral sesuai dengan macam mineral yang terkandung di dalam bahannya. Mineral yang terdapat pada abu dapat juga berasal dari senyawa organik musalnya fosfor yang berasal dari dari protein dan sebagainya. Disamping itu adapula mineral yang dapat menguap sewaktu pembakaran, misalnya Na (Natrium), Cl (Klor), F (Fosfor), dan S (Belerang), oleh karena itu abu tidak dapat untuk menunjukan adanya zat anorganik didalam pakan secara tepat baik secara kualitatif maupun kwantitatif (Kamal, 1998).



V.     KESIMPULAN


5.1.      Kesimpulan
            Dari riset yang dilakukan pada rumput gajah terdapat perbedaan kandungan nutrisi (BK, PK, SK, Lemak Kasar, dan Kadar Abu) rumput gajah yang ditanam pada jenis tanah yang berbeda.























Daftar Pustaka
Achmad, W. 2009. Pengaruh Kadar Air Rumput Gajah Sebagai Sumber Serat Pakan Lengkap Terhadap Nilai Nutrisi dan Kondisi Fisik. Skripsi. Fakultas peternakan. Universitas Brawijaya Malang.

[B.E.T] Balai Embrio Ternak. 1997. Performans Rumput Gajah cv. Taiwan. B.E.T.            Cipelang. Bogor.

Darmawijaya, M. 2000. Klasifikasi Tanah. Gajah Mada Univ.Press. Yogyakarta.

Ella, A. 2002. Produktivitas dan Nilai Nutrisi Beberapa Renis Rumput dan Leguminosa Pakan yang Ditanam pada Lahan Kering Iklim Basah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Makassar.

Gullichsen, J.   dan H. Paulapuro. 1998. Environmental Control. Faped Oy. Helsinki.         Finlandia

Harjowigeno,S. 1996. Pengembangan lahan gambut untuk pertanian suatu peluang            dan      tantangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanah Fakultas           Pertanian IPB.22 Juni 1996.

Kamal, M. 1998. Nutrisi Ternak I. Rangkuman. Lab. Makanan Ternak, jurusan       Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, UGM. Yogyakarta.

McIlroy, R.J. 1977. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. Pradnya Paramita, Jakarta.

Mutalib,A.A.,J.S.Lim, M.H.Wong, and L. Konvai. 1991. Prociding of the International    Symposium on Tropical Peatland. Kuching, MARDI and Dep.           Of Agriculture, Serawak         Malaysia. 6-10 May 1991.
Noor, M. 2001. Pertanian lahan Gambut Potensi dan Kendala. Penerbit Kanisius.   Prasad,R. And            J.F. Power. 1997. Soil fertility management for    sustainable agriculture. Lewis Publisher.        New York.

Soekardi M., dan A. Hidayat. 1988. Extent and distribution of peatsoils of Indonesia.       Third   meeting cooperative resarch on problem soils. CRIFC. Bogor.

Widiati, R. dan Aryana, M., 1993. Pemberian Ransum Rasional Menggunakan Bahan Baku Lokal Pada Usaha Tani Penggemukan Sapi Potong Yang Menuju Maksimal Pendapatan. Laporan Penelitian. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Williamson and Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada          University Press. Jogjakarta



Tidak ada komentar:

Posting Komentar