Selasa, 25 Juni 2013

PENGERTIAN AKHLAK,PERBEDAAN DAN PERSAMAAN AKHLAK, TASWUF DAN SULUK



PENGERTIAN AKHLAK,PERBEDAAN DAN PERSAMAAN AKHLAK, TASWUF DAN SULUK



UIN SUSKA RIAU


OLEH :
INDRA JONI
( 111811103547 )
JURUSAN ILMU PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM  RIAU PEKANBARU
2013

I.                    PENDAHULUAN

1.1   Latar balakang

             Ilmu Akhlak adalah ilmu yang menentukan batas baik dan buruk, terpuji dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin. Jadi ilmu akhlak adalah ilmu yang mempersoalkan baik buruknya amal  dan  adat istiadat ahlak dapat dijadikan arti,sedangkan tasawuf Secara bahasa tasawuf berarti:1) saf (baris), sufi (suci), sophos (Yunani: hikmah), suf (kain wol). 2) sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan bersikap bijaksana, dan Menurut Istilah Upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah Swt. Kegiatan yang berkenaan dengan pembinaan mental ruhaniah agar selalu dekat dengan Tuhan.
Akhak dan tasauf ini sudah berada pada zaman dulu yaitu  pada Fase Yunani yang Dasar yang digunakan para pemikir Yunani dalam membangun Ilmu akhlak adalah pemikiran filsafat tentang manusia. Ini menunjukkan bahwa ilmu akhlak yang mereka bangun lebih bersifat filosofis kemudian pada Bangsa Romawi ajaran  akhlak yang lahir di Eropa pada abad pertengahan itu adalah ajaran akhlak yang dibangun dari perpaduan antara ajaran Yunani dan ajaran Nashrani setelah itu pada Abad Modern Akhlak yang mereka bangun didasarkan pada penyelidikan menurut kenyataan empiric dan tidak mengikuti gambaran-gambaran khayalan, dan hendak melahirkan kekuatan yang ada pada manusia, dihubungkan dengan praktek hidup di dunia ini.
          Perkembangan aklak dan tasawuf  ini juga dikaji disetiap agama yaitu Akhlak dalam ajaran agama Hindu , Akhlak dalam ajaran Ibrani, Akhlak dalam ajaran Kong Fu Tse (Konfucius), Akhlak dalam ajaran agama Nasrani (Masehi), Akhlak dalam ajaran agama Islam.





1.1. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan makalah ini adalah:
1.       Untuk mengetahui pengertian  akhlak dan tasawuf yang sesungguhnya.
2.       Mengetahui sejarah perkembangan dasar timbulnya akhlak dan tasawuf dari awal hingga sekarang
3.       Untuk mengetahui tungsi ahlak dan tasawuf dalam msayarakat
4.       Secara umum untuk menegetahui ruang lingkup ilmu akhalak dan tasawuf
1.2.  Manfaat
Adapun manfaat yang bisa ambil adalah:
1.       Agar kita mengetahui pengertian ilmu akhlak dan tasawuf
2.       Agar kita mengetahui peran fungsi ilmu akhlak dan tasawuf
3.       Agar kita mengetahui perkembagan ahlak dan tasawuf
4.       Secara umum untuk menambah ilmu pengetahuan bagi pembaca maupun penulis











II. PEMBAHASAN

2.1. Pengertian
  1. Akhlak
Perkataan akhlak dari bahasa arab, jamak dari khuluk, secara lugowi diartikan tingkah laku untuk kepribadian. Akhlak diartikan budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat[1]. Untuk mendapatkan definisi yang jelas di bawah ini penulis akan kemukakan beberapa pendapat para ahli diantaranya:
  1. Imam Al-Ghazali menyebut akhlak ialah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa . Daripada jiwa itu ,timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa melakukan pertimbangan fikiran.
  2. Prof. Dr. Ahmad Amin mendefinasikan akhlak sebagai kehendak yang dibiasakan . Maksudnya, sesuatu yang mencirikan akhlak itu ialah kehendak yang dibiasakan. Ertinya, kehendak itu apabila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu dinamakan akhlak. Ahmad Amin menjelaskan arti kehendak itu ialah ketentuan daripada beberapa keinginan manusia. Manakala kebiasaan pula ialah perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah melakukanya. Daripada kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan ke arah menimbulkan apa yang disebut sebagai akhlak.
  3. Ibnu Maskawayh mengatakan akhlak ialah suatu keadaan bagi diri atau jiwa yang mendorong (diri atau jiwa itu) untuk melakukan perbuatan dengan senang tanpa didahului oleh daya pemikiran kerana sudah menjadi kebiasaan.
Ciri Perbuatan Akhlak:
1. Tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehingga telah menjadi kepribadiannya.
2. Dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran.
3. Timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar
4. Dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Pembagian Akhlak
Akhlak terbagi menjadi dua, yaitu:
1) Akhlak Hasanah / jamilah / mahmudah /karimah.
Yaitu akhlak yang terpuji, seperti pemaaf, penyantun, dermawan, sabar, rohmah (kasih sayang), lemah lembut dan lainnya.
2) Akhlak Sayyi'ah / qobihah / madzmumah.
Yaitu akhlak yang tercela, yang merupakan lawan dari akhlak yang terpuji seperti: pendendam, kikir, berkeluh kesah, keras hati, pemarah dan lainnya.

B. Tasawuf
a) Secara bahasa tasawuf berarti:
• saf (baris), sufi (suci), sophos (Yunani: hikmah), suf (kain wol)
• sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan bersikap bijaksana.

b)
Menurut Istilah:
• Upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah Swt.
• Kegiatan yang berkenaan dengan pembinaan mental ruhaniah agar selalu dekat dengan Tuhan.[2]



c) Menurut para ahli tasawuf diartikan sebagai berikut :
  • Zakaria Al-Anshori : “Tasawuf ialah suatu ilmu yang menjelaskan hal ihwal Pembersih
  • jiwa dan penyantun akhlak baik lahir atau batin, guna menjauhi bid’ah dan tidak meringankan ibadah.
  • Abul Qasim al-Qashairi ( W. 456H/1072M ) : “Tashawwuf adalah menerapkan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi secara tepat berusaha menekan hawa nafsu, menjauhi bid’ah dan tidak meringankan ibadah.
  • Bisyr bin Haris al-Hafi ( W. 227H/841M ) : “Seorang sufi ialah yang telah bersih hatinya, semata-mata untuk Allah SWT”.
  • ABU Husain An-Nuri ( W. 295H/908M ) : “Kaum sufi itu ialah kaum yang hatinya suci dari kotoran basariyah ( hawa nafsu kemanusiaan ) dan kesalahan pribadi. Ia harus mampu membebaskkan diri dari syahwat sehingga ia berada pada shaf pertama dan mencapai derajat yang mulia dalam kebenaran”.
  • Harun Nasution dalam bukunya falsafat dan Mistisme dalam islam menjelaskan bahwa, “tasawuf itu merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan, tashawwuf atau sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang islam bisa sedekat mungkin dengan tuhan”.[3]
2.2. Hubungan akhlak dengan tasawuf
Akhlak dan Tasawuf saling berkaitan. Akhlak dalam pelaksanaannya mengatur hubungan horizontal antara sesama manusia, sedangkan tasawuf mengatur jalinan komunikasi vertikal antara manusia dengan Tuhannya (Allah). Akhlak menjadi dasar dari pelaksanaan tasawuf, sehingga dalam prakteknya tasawuf mementingkan akhlak.

2.3. Sejarah Perkembangan Ilmu Tasawuf
Sebenarnya kehidupan sufi sudah terdapat pada diri Nabi Muhammad saw. Dimana dalam kehidupan beliau sehari-hari terkesan amat sederhana dan menderita, disamping menghabiskan waktunya untukk beribadah dan selalu mendekatkan diri kepada Allah swt. Bahkan seperti diketahui, bahwa sebelum beliau diangkat sebagai Rasul Allah, beliau seringkali melakukan kegiatan shufi dengan melakukan uzlah di Gua Hira selama berbulan-bulan lamanya sampai beliau menerima wahyu pertama saat diangkat sebagai Rasul Allah. Setelah Beliau resmi diangkat sebagai Nabi utusan Allah, keadaan dan cara hidup beliau masih ditandai oleh jiwa dan suasana kerakyatan, meskipun beliau berada dalam lingkaran keadaan hidup yang serba dapat terpenuhi semua keinginan lantaran kekuasaannya sebagai Nabi yang menjadi kekasih Tuhan-Nya.
Pada waktu malam sedikit sekali tidur, waktunya dihabiskan untuk bertawajjuh kepada Allah dengan memperbanyak dzikir kepada-Nya. Tempat tidur beliau terdiri dari balai kayu biasa dengan alas tikar dari daun kurma, tidak pernah memakai pakaian yang terdiri dari wool, meskipun mampu membelinya. Pendek kata beliau lebih cinta hidup dalam suasana sederhana ( meskipun pangkatnya Nabi ) Daripada hidup bermewah-mewah.
Akan tetapi banyak para ahli sejarahmemulai Sejarah tasawuf dengan Imam Ja’far Al Shadiq ibn Muhamad Bagir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Imam Ja’far juga dianggap sebagai guru dari keempat imam Ahlulsunah yaitu Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i dan Ibn Hanbal. Ucapan – ucapan Imam Ja’far banyak disebutkan oleh para sufi seperti Fudhail ibn Iyadh Dzun Nun Al Mishri, Jabir ibn Hayyan dan Al Hallaj. Diantara imam mazhab di kalangan Ahlulsunah, Imam Maliki yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far. Kaitan Imam Ja’far dengan tasawuf, terlihat dari silsilah tarekat, seperti Naqsyabandiyah yang berujung pada Sayyidina Abubakar Al Shidiq ataupun yang berujung pada Imam Ali selalu melewati Imam Ja’far.
Kakek buyut Imam Ja’far, dikenal mempunyai sifat dan sikap sebagai sufi. Bahkan (meski sulit untuk dibenarkan) beberapa ahli menyebutkan Hasan Al Bashri, sufi-zahid pertama sebagai murid Imam Ali. Sedangkan Ali Zainal Abidin (Ayah Imam Ja’far) dikenal dengan ungkapan-ungkapan cintanya kepada Allah yang tercermin pada do’anya yang berjudul “Al Shahifah Al Sajadiyyah”. Tasawuf lahir dan berkembang sebagai suatu disiplin ilmu sejak abad k-2 H, lewat pribadi Hasan Al Bashri, Sufyan Al Tsauri, Al Harits ibn Asad Al Muhasibi, Ba Yazid Al Busthami.
Tasawuf tidak pernah bebas dari kritikan dari para ulama (ahli fiqh, hadis dll).
Praktik – praktik tasawuf dimulai dari pusat kelahiran dan penyiaran agama Islam yaitu Makkah dan Madinah, jika kita lihat dari domisili tokoh-tokoh perintis yang disebutkan di atas.
2.4. Perkembangan Ilmu Akhlak
2.4.1.        Sejarah Akhlak pada Fase Yunani
       Perkembangan ilmu akhlak pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya apa yang disebut Sophisticians, yaitu orang-orang yang bijaksana (500-450 SM). Sedangkan sebelum itu di kalangan bangsa Yunani tidak dijumpai pembicaraan mengenai akhlak, karena pada masa itu perhatian mereka tercurah pada penyelidikannya mengenai alam.
     Dasar yang digunakan para pemikir Yunani dalam membangun Ilmu akhlak adalah pemikiran filsafat tentang manusia. Ini menunjukkan bahwa ilmu akhlak yang mereka bangun lebih bersifat filosofis, yaitu filsafat yang bertumpu pada kajian secara mendalam terhadap potensi kejiwaan yang terdapat dalam diri manusia atau bersifat antropo-sentris, dan mengesankan bahwa masalah akhlak adalah sesuatu yang fitrah, yang akan ada dengan adanya manusia sendiri, dan hasil yang didapatnya adalah ilmu akhlak yang berdasar pada logika murni.

     Ada beberapa ahli-ahli fikir Yunani yang menyingkapkan pengetahuan akhlak, di antaranya:
1.    Socrates (469 - 399 SM). Socrates dipandang sebagai perintis ilmu akhlak, karena ia yang pertama kali berusaha sungguh-sungguh membentuk pola hubungan antar manusia dengan dasar ilmu pengetahuan. Sehingga ia berpendapat bahwa keutamaan itu adalah ilmu. Namun demikian, para peneliti terhadap pemikiran Socrates ada yang mengatakan bahwa Socrates tidak menunjukkan dengan jelas tujuan akhir dari akhlak dan tidak memberikan patokan-patokan untuk mengukur segala perbuatan dan menghukumkannya baik atau buruk. Akibatnya, maka timbullah beberapa golongan yang mengemukakan berbagai teori tentang akhlak yang dihubungkan pada Socrates.
2.       Plato (427 – 347 SM). Pandangannya dalam akhlak berdasarkan dari “teori contoh” bahwa di balik alam ini ada alam rohani sebagai alam yang sesungguhnya. Dan di alam rohani ini ada kekuatan yang bermacam-macam, dan kekuatan itu timbul dari pertimbangan tunduknya kekuatan pada hokum akal.[4]
                   Dia berpendapat bahwa pokok-pokok keutamaan ada empat antara lain:
a)       Hikmah/kebijaksanaan,
b)        Keberanian,
c)        Keperwiraan
d)        Keadilan.
               Keempat-empatnya itu adalah tiang penegak bangsa-bangsa dan perseorangan.

2.4.2.        Sejarah Akhlak pada Bangsa Romawi (Abad pertengahan)
Kehidupan masyarakat Eropa di abad pertengahan dikuasai oleh gereja dan Pada waktu itu gereja berusaha memerangi filsafat Yunani serta menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno. kalangan gereja ada yang mempergunakan pemikiran Plato, Aristoteles dan Stoics untuk memperkuat ajaran gereja, dan mencocokkannya dengan akal. Filsafat yang menentang Agama Nashrani dibuang jauh-jauh.
Dengan demikian ajaran  akhlak yang lahir di Eropa pada abad pertengahan itu adalah ajaran akhlak yang dibangun dari perpaduan antara ajaran Yunani dan ajaran Nashrani. Diantara mereka yang termasyhur ialah Abelard, sorang ahli filsafat Perancis (1079-1142) dan Thomas Aquinas, seorang ahli filsafat Agama berkebangsaan Italia (1226-1274).[5]
Corak ajaran akhlak yang sifatnya perpaduan antara pemikiran filsafat Yunani dan ajaran agama itu, nantinya akan dapat pula dijumpai dalam ajaran akhlak yang terdapat dalam Islam sebagaimana terlihat pada pemikiran aklhlak yang dikemukakan kaum Muktazilah.[6]







2.4.3.             Sejarah Akhlak Pada Bangsa Arab Sebelum Islam
Bangsa Arab pada Zaman Jahiliyah tidak ada yang menonjol dalam segi filsafat sebagaimana Bangsa Yunani (Socrates, Plato dan Aristoteles), Tiongkok dan lain-lainnya. Disebabkan karena penyelidikan akhlak terjadi hanya pada Bangsa yang sudah maju pengetahuannya. Sekalipun demikian, Bangsa Arab waktu itu ada yang mempunyai ahli-ahli hikwah yang menghidangkan syair-syair yang mengandung nilai-nilai akhlak.
Adapun sebagian syair dari kalangan Bangsa Arab diantaranya: Zuhair ibn Abi Salam yang mengatakan: ”barang siapa menepati janji, tidak akan tercela; barang siapa yang membawa hatinya menunjukkan kebaikan yang menentramkan, tidak akan ragu-ragu”.
Dapat disimpulkan bangsa Arab sebelum Islam telah memiliki kadar pemikiran yang minimal pada bidang akhlak, pengetahuan tentang berbagai macam keutamaan dan mengerjakannya, walaupun nilai yang tercetus lewat syair-syairnya belum sebanding dengan kata-kata hikmah yang diucapkan oleh filosof-filosof Yunani kuno. Dalam syariat-syariat mereka tersebut saja sudah ada kearah – arah  akhlak.
Memang sebelum Islam, dikalangan bangsa Arab belum diketahui adanya para ahli filsafat yang mempunyai aliran-aliran tertentu seperti yang kita ketahui pada bangsa Yunani, seperti Epicurus, Plato, zinon, dan Aristoteles, karena penyelidikan secara ilmiah tidak ada, kecuali sesudah membesarnya perhatian orang terhadap ilmu kenegaraan.[7]
          Setelah sinar Islam memancar, maka berubahlah suasana laksana sinar matahari menghapuskan kegelapan malam, Bangsa Arab kemudian tampil maju menjadi Bangsa yang unggul di segala bidang, berkat akhlak karimah yang diajarkan Islam.

Firman Allah yang mengungkap tentang “Akhlak” yaitu Surat An-Nahl ayat 90: Artinya:

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.[8]
2.4.4.        Akhlak Periode Abad Modern
Pada abad pertengahan ke-15 mulailah ahli-ahli pengetahuan menghidup suburkan filsafat Yunani kuno. Itali juga kemudian berkembang di seluruh Eropa. Kehidupan mereka yang semula terikat pada dogma kristiani, khayal dan mitos mulai digeser dengan memberikan peran yang lebih besar kepada kemampuan akal pikiran.
Di antara masalah yang mereka kritik dan dilakukan pembaharuan adalah masalah akhlak.  Akhlak yang mereka bangun didasarkan pada penyelidikan menurut kenyataan empiric dan tidak mengikuti gambaran-gambaran khayalan, dan hendak melahirkan kekuatan yang ada pada manusia, dihubungkan dengan praktek hidup di dunia ini. Pandangan baru ini menghasilkan perubahan dalam menilai keutamaan-keutamaan kedermawanan umpamanya tidak mempunyai lagi nilai yang tinggi sebagaimana pada abad-abad pertengahan, dan keadilan social menjadi di perolehnya pada masa yang lampau. Selanjutnya pandangan akhlak mereka diarahkan pada perbaikan yang bertujuan agar mereka menjadi anggota masyarakat yang mandiri.[9]

2.5. Perkembangan Akhlak Dalam Berbagai Ajaran Agama
a.       Akhlak dalam ajaran agama Hindu
                        Ajaran Hindu berdasarkan kepada Kitab Veda (1500 SM, disamping mengandung dasar-dasar ketuhanan, juga mengajarkan prinsip-prinsip etika yang wajib dipegang teguh oleh pengikut. Etika mereka sandarkan kepada ajaran ketuhanan yang mereka anut yang termaktub dalam kitab Veda tersebut.
                        Prinsip tersebut ialah sifat patuh dan disiplin dalam melaksanakan upacara-upacara ajarannya sebagaimana mestinya. Manakala seseorang dapat melaksanakan kewajiban tersebut dengan sempurna, dapatlah di pandang sebagai orang yang mencapai derajat kemuliaan yang sesungguhnya. Sebaliknya barang siapa melalaikan hal tersebut, kurang hati-hati atau salah dalam mengerjakan upacara keagamaan, maka hal itu berarti dosa dan sumber terbitnya kejelekan.
                        Dengan demikian, prinsip etika Hindu ialah bahwa peraturan ajaran dipandang sebagai sumber segala sumber segala kemuliaan akhlak manusia.[10]

b.       Akhlak dalam ajaran Ibrani
                        Bangsa Ibrani yang popular dengan nama Bani Israil, mengaku berdasarkan akhlak mereka kepada ajaran Yahudi yang disandarkan kepada ajaran Nabi Musa dalam kitab Taurat.
                        Bani Israil adalah bangsa yang telah memperoleh nikmat keutamaan dan keunggulan dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Dari lingkungan mereka banyak di bangkitkan Rasul dan Nabi, diberikan kitab dan nikmat, kekuasaan, rizki dan kecerdasan. Tetapi segolongan dari pada bangsa ini tidak tahu menimbang rasa dan pelupa budi serta tidak syukur atas nikmat Allah. Bahkan dengan kenikmatan itu mereka menjadi sombong dan angkuh, merubah kitab suci, dan berbuat kerusuhan di muka bumi.
                        Sebenarnya mereka telah dibekali dengan prinsip-prinsip akhlak yang bersumber dari ajaran Allah melalui Rasul-Rasul dan mereka mengakui dirinya sebagai bangsa yang berakhlak yang berdasarkan ajaran Allah. Tetapi karena mereka keluar dari garis akhlakul karimah maka Allah menyiksa mereka dengan penderitaan-penderitaan yang luar biasa, lebih dari yang dialami oleh bangsa-bangsa lain. Dalam teori mereka mengaku menganut prinsip-prinsip akhlakul karimah tetapi dalam prakteknya mereka melakukan akhlakul madzmumah.[11]

c.              Akhlak dalam ajaran Kong Fu Tse (Konfucius)
                        Sejak abad ke 5 sebelum Masehi di negeri Tiongkok berkembang suatu ajaran yang berakar pada Lao Tse yang kemudian dikembangkan oleh muridnya yang bernama Kong Fu Tse (kongfucius) (1551-478 SM). Sebagian orang memandang ajaran ini didasarkan filsafat dan sebagian memandang bercorak agama.
                        Menurut Konfucius, tidak ada alternatif lain untuk membangun akhlak yang rusak selain 3 (tiga) perkara:
1.    Pergi menyendiri beribadat kepada Tuhan seperti yang telah diperbuat oleh Lao Tse.
2.    Mengundang rakyat menghadiri pertemuan-pertemuan terbuka dan disana memberikan kursus-kursus akhlak.
3.    Membawa diri-sendiri, baik pemerintah maupun cendekiawan, para pembesar dan diplomat, melaksanakan akhlak yang setinggi-tingginya dalam kehidupan sehari-hari
                        Demikianlah konfucius dengan segala kesanggupannya yang berusaha menarik perhatian ummat ke jurusan undang-undang umumnya.[12]

d.              Akhlak dalam ajaran agama Nasrani (Masehi)
                        Pada akhir abad ke 3 Masehi tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama ini telah berhasil mempengaruhi pemikiran manusia dan membawa pokok-pokok ajaran akhlak yang terdapat dalam kitab taurat dan injil. Menurut agama ini, bahwa Tuhan adalah sumber akhlak. Tuhanlah yang menentukan dan membentuk patokan-patokan akhlak yang harus di pelihara dan di laksanakan dalam kehidupan social kemasyarakatan.
                        Selain itu agama Nasrani menghendaki agar manusia berusaha sungguh-sungguh mensucikan roh yang terdapat pada dirinya dari perbuatan dosa, baik dalam bentuk pemikiran maupun perbuatan. Dengan demikian agama ini menjadikan roh sebagai kekuasaan terhadap diri manusia, yaitu suatu kekuasaan yang dapat mengalahkan nafsu syahwat. Akibat dari paham akhlak yang demikian itu, kebanyakan para pengikut pertama dari agama ini suka menyiksa dirinya, menjauhi dunia dari beribadah, Zuhud, dan hidup menyendiri. [13]

e.              Akhlak dalam ajaran agama Islam
                        Ajaran akhlak menurut bentuknya yang sempurn pada agama Islam dengan titik pangkalnya pada Tuhan dan akal manusia. Agama Islam pada intinya mengajak manusia agar percaya kepada Tuhan dan mengikutinya bahwa Dia-lah Pencipta, Pelindung, Pengasih, Pemberi Rahmat, dan Penyayang terhadap segala makhluk-Nya.
                        Selain itu, agama Islam juga mengandung jalan hidup manusia yang paling sempurna dan memuat ajaran yang menuntut umat kepada kebahagiaan dan kesejahteraan. Dan semua itu terkandung dalam ajaran Al-Qur’an yang diturunkan Allah dan ajaran sunnah yang di datangkan dari Nabi Muhammad SAW.
                        Al-Qur’an adalah sumber utama dan mata air yang memancarkan agama islam. hukum-hukum Islam yang mengandung serangkaian pengetahuan tentang akidah, pokok-pokok akhlak dan perbuatan yang dapat di jumpai sumber yang aslinya di dalam Al-Qur’an.[14]





















III.         PENUTUP
3.1.    Kesimpulan

a.       Sejarah Perkembangan Akhlak Pada Zaman Yunani
            Karena ia yang pertama berusaha dengan sungguh-sungguh membentuk perhubungan manusia dengan ilmu pengetahuan. Lalu datang Plato (427-347 SM). Ia seorang ahli Filsafat Athena, yang merupakan murid dari Socrates. Buah pemikirannya dalam Etika berdasarkan ‘teori contoh’. Dia berpendapat alam lain adalah alam rohani.
b.      Sejarah   Akhlak pada Bangsa Romawi (Abad pertengahan)
            Pada abad pertengahan, Etika bisa dikatakan ‘dianiaya’ oleh Gereja. Pada saat itu, Gereja memerangi Filsafat Yunani dan Romawi, dan menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan hakikat telah diterima dari wahyu. Dan apa yang terkandung dan diajarkan oleh wahyu adalah benar.
c.       Sejarah Akhlak Pada Bangsa Arab Sebelum Islam
            Bangsa Arab pada zaman jahiliah tidak mempunyai ahli-ahli Filsafat yang mengajak kepada aliran atau faham tertentu sebagaimana Yunani, seperti Epicurus, Zeno, Plato, dan Aristoteles. Hal itu terjadi karena penyelidikan ilmu tidak terjadi kecuali di Negara yang sudah maju. Waktu itu bangsa Arab hanya memiliki ahli-ahli hikmat dan sebagian ahli syair. Yang memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, mendorong menuju keutamaan, dan menjauhkan diri dari kerendahan yang terkenal pada zaman mereka.
d.      Sejarah Akhlak Pada Abad Modern
          Pada abad pertengahan ke-15 mulailah ahli-ahli pengetahuan menghidup suburkan filsafat Yunani kuno. Itali juga kemudian berkembang di seluruh Eropa.  Pandangan baru ini menghasilkan perubahan dalam menilai keutamaan-keutamaan kedermawanan umpamanya tidak mempunyai lagi nilai yang tinggi
e.    Perkembangan Akhlak Dalam Berbagai Ajaran Agama
1.       Akhlak dalam ajaran agama Hindu
2.       Akhlak dalam ajaran Ibrani
3.       Akhlak dalam ajaran Kong Fu Tse (Konfucius
4.       Akhlak dalam ajaran agama Nasrani dan Akhlak dalam ajaran agama
3.2. Saran
Kita sebagai manusia tidak lipun dari kehilafan, maka dari itu penulis menyarankan kepada pembaca dan pendengar isi makalah ini, jika ada kesalahan dalam penulisan, bahasa maupun salah dalam mendefenisikan sesuatu hal mohon kritik dan saran yang bersifat membangun makalah ini untuk lebih baiknya.
DAFTAR PUSTAKA

·         Depag RI. Al-Qur’an danTerjemahan, 1971.
·         Ardani, Moh. Akhlak Tasawuf (Nilai-nilai akhlak/budipekerti dalam ibadat dan tasawuf), Jakarta: PT Karya Mulia,2005.
·         Ilyas, Yunahar. KuliahAkhlaq. Yogyakarta: PustakaPelajar Offset, 2006.
·         Mustofa, AkhlakTasawuf, Bandung: CV. PustakaSetia, 1997.
·         Muthahhari, Murtadha. FalsafahAkhlak. Bandung: PustakaHidayah, 1995
·         Nata, Abudin. AkhlakTasawuf.  Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 1997.
·      Soleiman, Abjan. Ilmu Akhlak (Ilmu Etika). Jakarta: Dinas Rawatan Rohani Islam Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat,1976.
·         Umary, Barmawi. MateriaAkhlak.  Solo: CV. Ramadhani, 1989







[1]. Mustofa H.M.Akhlak tasawuf, Bandung: Pustaka setia,1997,11-30
2. Abjan Soleiman, Ilmu Akhlak (Ilmu Etika), Jakarta: Dinas Rawatan Rohani Islam Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, 1976,  28

[2] Mustofa H.M.Akhlak tasawuf, Bandung: CV. Pustaka setia,1997,201-209

[3] Mustofa H.M.Akhlak tasawuf, Bandung:CV. Pustaka setia,1997,11-30

[4] Mustofa H.M.Akhlak tasawuf, Bandung: Cv.Pustaka setia,1997,41-50
[5] Muthahhari, Murtadha. Falsafah Akhlak. Bandung: Pustaka Hidayah, 1995
[6] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997, 65-66.
[7] Zahruddin AR,dkk,Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada,2004) hal: 25-27.
[8] Al-quran, Surat An-Nahl ayat 90
[9] Abudin Nata, 80-81.
[10] Siti Aminah Sahal, 50
[11] Ibid, 51
[12] Ibid, 53.
[13] Ibid, 55.
[14] Ibid, 57-58.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar