I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Hijauan merupakan
sumber makanan utama bagi ternak ruminansia untuk dapat bertahan hidup,
berproduksi serta berkembangbiak. Produksi ternak yang tinggi perlu didukung
oleh ketersediaan hijauan yang cukup dan kontinyu. Sumber utama hijauan pakan
adalah berasal dari rumput. Salah satu rumput yang sangat potensial dan sering
diberikan pada ternak ruminansia adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum).
Rumput ini merupakan salah satu rumput unggul tanpa adanya persilangan dengan
rumput lainnya. Rumput gajah (Pennisetum purpureum) ini mempunyai
produksi yang cukup tinggi, anakan yang banyak dan mempunyai akar yang kuat,
batang yang tidak keras serta mempunyai ruas-ruas yang pendek, daunnya lebih
lebar (BET, 1997).
Untuk dapat
memenuhi kebutuhan akan hijauan makanan ternak perlu dilakukan penanaman
hijauan pada lahan yang subur. Penanaman hijauan makanan ternak pada lahan yang
subur akan menghasilkan produktivitas hijauan makanan ternak yang lebih baik
dibandingkan pada lahan kritis atau kurang subur. Selama ini yang menjadi
kendala peternak adalah berkurangnya lahan subur untuk menanam hijauan makanan
ternak karena adanya alih fungsi lahan, perumahan, industri, persawahan,
perkebunan, dan sebagainya.
Adapun lahan subur
yang jarang dimanfaatkan oleh manusia sebagai media pertumbuhan hijauan makanan
ternak adalah tanah gambut dan tanah mineral. Tanah gambut adalah tanah yang
terbentuk dari endapan bahan organik yang berasal dari penumpukan jaringan
sisa-sisa tumbuhan baik yang sudah mati maupun yang masih hidup. Sedangkan
tanah mineral adalah tanah pada lapisan bagian atas dibawah lapisan humus yang
umumnya terdapat pada tanah dibawah hutan yang bahan organiknya kurang dari
20%.
1.2. Tujuan
Adapun
tujuan dari praktikum ini adalah dapat memberikan informasi kepada mahasiswa
atau dosen tentang kandungan nutrisi dari rumput gajah yang ditanam di tanah
gambut dan tanah mineral.
1.3. Manfaat
Laporan praktikum ini diharapkan
bermanfaat untuk
1.
memberikan
informasi yang tentang kandungan nutrisi rumput gajah yang ditanam pada tanah
gambut dan tanah mineral.
2.
memberikan
informasi yang tentang kandungan nutrisi rumput gajah yang ditanam pada tanah
mineral.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Rumput Gajah (Pennisetum Purpureum)
Pakan merupakan
salah satu faktor penting dalam usaha peternakan. Pada usaha peternakan ternak
ruminansia ketersedian pakan sepanjang tahun sangat diperlukan guna memenuhi
kebutuhan ternak. Pemberian pakan yang kurang mencukupi kebutuhan nutrisinya
akan mengakibatkan pertumbuhan dan produksi ternak akan terganggu, selain itu
pakan juga merupakan faktor penentu yakni besar atau kecilnya biaya produksi
yang harus dikeluarkan untuk memperoleh produk dari ternak. Hal ini dikarenakan
pada usaha peternakan biaya pakan ternak merupakan bagian terbesar yakni 60 –
75 % dari total biaya produksi (Widiati dan Aryana, 1993). Salah satu Hijaun Makanan Ternak
(HMT) yang memiliki tingkat produksi yang tinggi dan dapat mencukupi kebutuhan
pakan ternak yaitu rumput Rumput gajah (Pennisetum
Purpureum) adapun jumlah produksi
rumput gajah dapat mencapai 20 – 30 ton/ha/tahun, (Ella, 2002). Achmad. W,
(2009) menyatakan bahwa Rumput gajah merupakan bahan sumber serat yang masih
memiliki kandungan nilai nutrisi cukup tinggi, disamping itu rumput gajah
merupakan jenis rerumputan parenial yang ketersediannya melimpah pada musim
hujan. Selain itu, Rumput gajah (Pennisetum purpureum) merupakan jenis
rumput unggul yang memiliki kandungan zat gizi yang cukup tinggi serta disukai
oleh ternak ruminansia .
Rumput gajah mempunyai produksi bahan kering 40 sampai 63 ton ha-1
tahun-1 (Siregar, 1989), dengan rata-rata kandungan zat-zat gizi yaitu :
protein kasar 9,66%, BETN 41,34%, serat kasar 30,86%, lemak 2,24%, abu 15,96%,
dan TDN 51% (Hartadi dkk., 1986 dan Lubis, 1992). Nilai gizi rumput
gajah sebagai hijauan makanan ternak ditentukan oleh zat-zat makanan yang
terdapat di dalamnya dan kecernaannya. Nilai gizi rumput gajah dipengaruhi oleh
fase pertumbuhan pada saat pemotongan atau penggembalaan (McIlroy, 1977).
Rumput gajah sebaiknya dipotong pada fase vegetatif, untuk menjamin pertumbuhan
kembali (regrowth) yang sehat dan kandungan zat-zat gizi yang optimal.
Pemeliharaan
tanaman rumput gajah dilakukan dengan penyiangan dan penyulaman tanaman yang
mati. Tanaman rumput gajah setelah berumur 60 hari dilakukan pemotongan untuk
penyeragaman pertumbuhan dengan tinggi pemotongan 15 cm dari permukaan tanah.
Penyiangan dilakukan agar pertumbuhan kembali tanaman tidak terganggu oleh
tumbuhan pengganggu. Pemotongan yang terlalu berat dengan tidak memperhatikan
kondisi tanaman akan menghambat pertumbuhan tunas yang baru sehingga produksi
yang dihasilkan dan perkembangan anakan menjadi berkurang. Sebaliknya
pemotongan yang terlalu ringan menyebabkan pertumbuhan tanaman di dominasi oleh
pucuk dan daun saja, sedangkan pertumbuhan anakan berkurang (Ella, 2002).
2.2. Tanah Gambut
Gambut
adalah tanah organik yang tingkat kesuburannya relatif rendah, ditandai dengan
rendahnya pH (tanah masam) dan unsur hara (N, P, K, Ca, Mg), sehingga nilai
kapasitas tukar kation Al3+ dan proses pelindian menjadi sangat besar
(Darmawijaya, 2000).
Menurut
Soekardi dan Hidayat (1988) Penyebaran gambut di Indonesia meliputi areal
seluas 18.480 ribu hektar, tersebar pada pulau-pulau besar Kalimantan,
Sumatera, Papua serta beberapa pulau Kecil. Dengan penyebaran seluas sekitar 18
juta ha maka luas lahan gambut Indonesia menempati urutan ke-4 dari luas gambut
dunia setelah Kanada; Uni Sovyet dan Amerika Serikat. Kalimantan Barat
merupakan propinsi yang memiliki luas lahan gambut terbesar di Indonesia yaitu
seluas 4,61 juta ha, diikuti oleh Kalimantan Tengah, Riau dan Kalimantan Selatan
dengan luas masing-masing 2,16 juta hektar, 1,70 juta hektar dan 1,48 juta
hektar. Gambut terbentuk dari timbunan bahan organik yang berasal dari tumbuhan
purba yang berlapis-lapis hingga mencapai ketebalan >40 cm. Proses
penimbunan bahan sisa tumbuhan ini merupakan proses geogenik yang berlangsung
dalam waktu yang sangat lama (Hardjowigeno, 1996).
Pembentukan
gambut diduga terjadi pada periode Holosin antara 10.000 – 5.000 tahun silam.
Menurut Andrisse (1988) gambut di daerah tropis terbentuk kurang dari 10.000
tahun lalu. Gambut pantai di Asia Tenggara umumnya berumur kurang dari 6.000
tahun, pengukuran umur gambut dari Serawak dengan metode radio-meteri 14C
menunjukkan bahwa gambut serawak terbentuk maksimum sekitar 4.300tahun lalu.
Gambut di Florida, Amerika Serikat, ternyata juga terbentuk 4.400 tahun lalu
(Lucas, 1982 dalam Andrisse, 1988). Waktu pembentukan yang hampir bersamaan ini
terjadi karena peristiwa mencairnya es didaerah kutub pada awal Holosin
meyebabkan naiknya permukaan air laut dan menenggelamkan dataran pantai yang
rendah diseluruh dunia. Kenaikan permukaan air laut menyebabkan pula dataran
pantai di Indonesia seperti Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya dan pulau-pulau
lainya terendam menjadi rawarawa.
Harjowigeno
(1996) menyatakan bahwa kondisi anaerob yang tercipta karenapenggenangan
dataran pantai merupakan kondisi penting dalam pembentukan gambut pantai.
Gambut pantai mulai terbentuk dari akumulasi bahan organik didaerah belakang
tanggul sungai (levee) yaitu daerah back swamp. Pada saat gambut masih tipis
akar tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di gambut dapat mengambil unsur hara dari
tanah mineral dibawah gambut selanjutnya gambut terbentuk diperkaya dengan
unsur hara dari luapan air sungai. Tumbuhan yang tumbuh cukup subur dan kaya mineral
sehingga gambut yang terbentuk juga subur (gambut topogen). Dalam perkembangan
selanjutya gambut semakin tebal dan akar tumbuhan yang hidup digambut tidak
mampu mencapai tanah mineral di bawahnya, air sungai tidak mampu lagi
menggenangi permukaan gambut. Sumber hara utama pada gambut ini hanyalah dari
air hujan sehingga vegetasi yang tumbuh menjadi kurang subur dan menyebabkan
gambut yang terbentuk menjadi gambut miskin hara. Gambut ini disebut sebagai
gambut ombrogen.
Noor (2001) menambahkan bahwa ketebalan gambut, lapisan
bawah, dan kadar lengas gambut merupakan sifat-sifat fisik yang perlu mendapat
perhatian dalam pemanfaatan gambut. Berdasarkan atas tingkat pelapukan
(dekomposisi) tanah gambut dibedakan menjadi: (1) gambut kasar (Fibrist ) yaitu
gambut yang memiliki lebih dari 2/3 bahan organk kasar; (2) gambut sedang
(Hemist) memiliki 1/3-2/3 bahan organik kasar; dan (3) gambut halus (Saprist)
jika bahan organik kasar kurang dari 1/3. Gambut kasar mempunyai porositas yang
tinggi, daya memegang air tinggi, namun unsur hara masih dalam bentuk organik
dan sulit tersedia bagi tanaman. Gambut kasar mudah mengalami penyusutan yang
besar jika tanah direklamasi. Gambut halus memiliki ketersediaan unsur hara
yang lebih tinggi memiliki kerapatan lindak yang lebih besar dari gambut kasar.
Tanah gambut mempunyai kerapatan lindak (bulk density)
yang sangat rendah yaitu kurang dari 0,1 gr/cc untuk gambut kasar, dan sekitar
0,2 gr/cc pada gambut halus. Dibanding dengan tanah mineral yang memiliki
kerapatan lindak 1,2 gr/cc maka kerapatan lindak gambut adalah sangat rendah.
Rendahnya kerapatan lindak menyebabkan daya dukung gambut (bearing capasity)
menjadi sangat rendah, keadaan ini menyebabkan rebahnya tanaman tahunan seperti
kelapa dan kelapa sawit pada tanah gambut. Tanah gambut jika di drainase secara
berlebih akan menjadi kering dan kekeringan gambut ini disebut sebagai
irreversible artinya gambut yang telah mengering tidak akan dapat menyerap air
kembali. Perubahan menjadi kering tidak balik ini disebabkan gambut yang suka
air (hidrofilik) berubah menjadi tidak suka air (hidrofobik) karena kekeringan,
akibatnya kemampuan menyerap air gambut menurun sehingga gambut sulit
diusahakan
Untuk mengurangi kandungan Al yang sangat besar pada
tanah-tanah masam pada umumnya dilakukan pengapuran, dengan adanya pemberian
kapur dapat diharapkan kandungan Al yang terlarut didalam tanah dapat
dikurangi, sehingga akan terjadi peningkatan pH tanah, dengan demikian secara
langsung ketersediaan nitrogen, phosphor, kalium dan kalsium di dalam tanah
akan meningkat (Jones,1992).
Tingginya kemampuan gambut menyerap air menyebabkan
tingginya volume pori-pori gambut, mengakibatkan rendahnya kerapatan lindak dan
daya dukung gambut (Mutalib et al, 1991). Akumulasi gambut akan menyebabkan
ketebalan gambut yang bervariasi pada suatu kawasan. Umumnya gambut akan
membentuk kubah (dome), semakin dekat dengan sungai ketebalan gambut menipis,
kearah kubah gambut akan menebal, di Kalimantan Barat kubah gambut di Sungai
Selamat dapat mencapai 8 m, demikianpula pada daerah rasau Jaya. Ketebalan
gambut berkaitan erat dengan kesuburan tanah. Gambut ditepi kubah tipis dan
memiliki kesuburan yang relatif baik (gambut topogen) sedang di tengah kubah
gambut tebal >3m memiliki kesuburan yang relatip rendah (gambut ombrogen)
Lapisan
bawah gambut dapat berupa lapisan lempung marine atau pasir. Gambut diatas
pasir kuarsa memiliki kesuburan yang relatip rendah, jika lapisan gambut
terkikis, menyusut dan hilang maka akan muncul tanah pasir yang sangat miskin. Tanah
lapisan lempung marin umumnya mengandung pirit (FeS2), pada kondisi tergenang
(anaerob) pirik tidak akan berbahaya namun jika didrainase secara berlebihan
dan pirik teroksidasi maka akan terbentuk asam sulfat dan senyawa besi yang
berbahaya bagi tanaman. Kemasaman tanah akan memningkat pH menjadi 2-3 sehingga
tanaman pertanian akan keracunan dan pertumbuhan terhambat serta hasil rendah.
2.3. Tanah Mineral
Tanah mineral
adalah tanah pada lapisan bagian atas di bawah lapisan humus, yang umumnya terdapat
pada tanah di bawah hutan.
Litososl
Litosol merupakan tanah yang sangat
muda, sehingga bahan induknya sering terlihat dangkal atau < 20 cm,
profilnya belum memperlihatkan horison penciri dengan sifat-sifat dan ciri
morfologi yang masih menyerupai batuan induknya. Tanah litosol tidak berkembang
karena pengaruh iklim yang lemah atau terlalu agresif, letusan gunungapi, atau
topografi dengan kemiringan yang tinggi. Proses pembentukan tanah lebih lambat
dari proses penghilangan tanah akibat dari erosi, sehingga solum tanah
cenderung semakin dangkal. Proses peremajaan tanah dapat terjadi akibat dari
tertutupnya permukaan tanah karena banjir lahar dingin atau tuf vulkanis. Tanah
litosol yang berada pada topografi yang tidak rata maka lingkungan alkalis dapat
menyebabkan lempung 2/1 yang terbentuk sangat peka terhadap erosi. Tanah
litosol ini banyak terdapat pada daerah pegunungan kapur dan karst di wilayah
Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa tenggara, serta Maluku bagian selatan.
Tanah
Aluvial
Tanah
Aluvial merupakan tanah endapan yang terjadi karena proses luapan banjir,
sehingga dapat dianggap masih muda dan belum ada diferensiasi horison. Endapan
aluvial yang sudah tua dan menampakkan akibat pengaruh iklim serta vegetasi
tidak termasuk kedalam jenis tanah aluvial. Ciri khas pembentukkan tanah
aluvial adalah bagian terbesar bahan kasar akan diendapkan tidak jauh dari
sumbernya. Tekstur tanah yang diendapkan pada waktu dan tempat yang sama akan
lebih seragam, dan semakin jauh dari sumbernya maka makin halus butir yang
diangkut. Karena itu jika pembentukan terjadi pada musim hujan maka sifat
bahan-bahannya juga tergantung pada kekuatan banjir serta asal dan macam bahan
yang diangkut, oleh karena itu menampakkan ciri morfologi berlapis yang bukan
merupakan hasil perkembangan tanah. Sifat tanah aluvial dipengaruhi langsung
oleh sumber bahan asal, sehingga kesuburannya juga ditentukan oleh sifat bahan
asalnya. Jika dilihat berdasarkan genese tananhnya, maka tanah aluvial kurang
dipengaruhi oleh iklim dan vegetasi, tetapi yang paling nampak pengaruhnya pada
ciri dan sifat tanahnya ialah bahan induk dan topografi sebagai akibat dari
waktu terbentuknya yang masih muda. Menurut bahan induknya terdapat tanah
aluvial pasir, lempung, dan kapur. Dengan memperhatikan cara terbentuknya maka
fisiografi untuk terentuknya tanah ini terbatas pada lembah sungai, datarn
pantai, dan bekas danau, yang memiliki relief datar dan cekung. Tanah aluvial
di Indonesia pada umumnya baik untuk komoditas pertanian dan perkebunan berupa
padi, palawija, dan tebu. Tanah aluvial di indonesia ada pula yang dimanfaatkan
untuk tambak bandeng dan gurameh.
Tanah
Pasiran
Tanah pasiran pada umumnya belum
jelas membentuk diferensiasi horison, meskipun pada tanah pasiran tua horison
sudah mulai terbentuk horison A1 lemah berwarna kelabu, mengandung bahan yang
belum mengalami pelapukan. Tekstur tanah pada umumnya kasar, struktur kersai
atau remah, konsistensi lepas sampai gembur, dan pH 6 – 7. Semakin tua umur
tanah struktur dan konsistensinya makin padat, bahkan dapat membentuk padas
dengan drainase dan porositas yang terhambat. Pada umumnya jenis tanah ini
belum membentuk agregat, sehingga peka terhadap erosi. Tanah pasiran pada
umumnya mengandung unsur P dan K yang masih segar dan belum siap untuk diserap
tanaman, tetapi unsur N terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit.
III. MATERI DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu
Pengambilan sampel rumput gajah dilaksanakan pada tanggal
3 Desember 2012. Praktikum ini akan dilakukan di laboratorium Nutrisi dan Kimia
Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN SUSKA Riau. Praktikum ini dilaksanakan
pada tanggal 4-5 Desember 2012.
3.2. Bahan dan
Alat
3.2.1. Bahan
Hijauan
pakan ternak yang akan ditentukan nutrisinya adalah Pennisetum purpureum (rumput
gajah). Jenis tanah yang digunakan adalah tanah gambut dan tanah
mineral. Bahan yang digunakan dalam analisis kandungan nutrisi rumput gajah
adalah HCl, K3SO4, MgSO4, NaOH, H3BO,
Eter, Benzena, CCl4, dan pelarut.
3.2.2. Alat
Alat yang
digunakan :
1.
Tali
2.
Parang
3.
Plastic
4.
Gunting
5.
Kejeltee
6.
Soklet
7.
Fibertec
8.
Tanur listrik
9.
Crucible tang
10. Alat destilasi
11. Erlenmeyer
3.3. Metode
Metode yang
dilaksanakan dalam praktikum ini adalah riset sesuai dengan prosedur.
3.4. Parameter
yang diamati
Kandungan
nutrisi rumput gajah meliputi :
1.
Bahan Kering
2.
Protein Kasar
3.
Serat Kasar
4.
Lemak Kasar
5.
Abu
3.5. Prosedur Praktikum
Prosedur dimulai
dari pengambilan sampel rumput gajah. Kemudian rumput gajah dikering
angin-anginkan lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 105 0C selama 8
jam, setelah itu sampel dianalisis di Laboratorium Nutrisi dan Kimia Fakultas
Pertanian dan Peternakan Uin Suska Riau.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kandungan Bahan Kering Rumput Gajah
Berdasarkan
hasil anlisis kandungan nutrisi rumput gajah didapatkan bahwa kandungan bahan
kering rumput gajah yang ditanam pada tanah gambut adalah 25.28% dan pada tanah
mineral adalah 20.34%. Produksi bahan kering dari hijauan tiap unit tanah
tergantung pada jenis tanaman yang dipakai, jumlah radiasi sinar matahari,
tersedianya kelembaban tanah dan zat-zat makanan untuk tanaman dan cara
pengolahan (Williamson and Payne, 1993).
4.2. Kandungan Protein Kasar Rumput Gajah
Berdasarkan
hasil anlisis kandungan nutrisi rumput gajah didapatkan bahwa kandungan protein
kasar rumput gajah yang ditanam pada tanah gambut adalah 3.50% dan pada tanah
mineral adalah 3.93%. Protein kasar adalah nilai hasil bagi dari total nitrogen
ammonia dengan faktor 16% (16/100) atau hasil kali dari total nitrogen ammonia
dengan faktor 6,25 (100/16). Faktor 16% berasal dari asumsi bahwa protein
mengandung nitrogen 16%. Kenyataannya nitrogen yang terdapat di dalam pakan
tidak hanya berasal dari protein saja tetapi ada juga nitrogen yang berasal
dari senyawa bukan protein atau nitrogen nonprotein (non–protein nitrogen
/NPN). Dengan demikian maka nilai yang diperoleh dari perhitungan diatas
merupakan nilai dari apa yang disebut protein kasar (Kamal,1998).
4.3. Kandungan
Serat Kasar Rumput Gajah
Berdasarkan
hasil anlisis kandungan nutrisi rumput gajah didapatkan bahwa kandungan serat
kasar rumput gajah yang ditanam pada tanah gambut adalah 28.43% dan pada tanah
mineral adalah 32.53%. Serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat
dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menentukan kadar serat
kasar yaitu asam sulfat (H2SO4 1,25%) dan natrium hidroksida (NaOH 1,25%).
Piliang dan Djojosoebagio mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan serat kasar
ialah sisa bahan makanan yang telah mengalami proses pemanasan dengan asam kuat
dan basa kuat selama 30 menit yang dilakukan di laboratorium. Dengan proses
seperti ini dapat merusak beberapa macam serat yang tidak dapat dicerna oleh
manusia dan tidak dapat diketahui komposisi kimia tiap-tiap bahan yang
mengandung dinding sel.
4.4. Kandungan
Lemak Kasar Rumput Gajah
Berdasarkan
hasil anlisis kandungan nutrisi rumput gajah didapatkan bahwa kandungan lemak
kasar rumput gajah yang ditanam pada tanah gambut adalah 2% dan pada tanah
mineral adalah 2%.
4.5. Kandungan
Kadar Abu Rumput Gajah
Berdasarkan
hasil anlisis kandungan nutrisi rumput gajah didapatkan bahwa kandungan kadar
abu rumput gajah yang ditanam pada tanah gambut adalah 4.293% dan pada tanah
mineral adalah 7.61%. abu adalah sisa pembakaran sempurna dari suatu bahan.
Suatu bahan apabila dibakar sempurna pada suhu 500-600ºC selama beberapa waktu
maka semua senyawa organiknya akan terbakar menjadi CO2, H2O dan gas lain yang
menguap, sedang sisanya yang tidak menguap inilah yang disebut abu atau
campuran dari berbagai oksida mineral sesuai dengan macam mineral yang
terkandung di dalam bahannya. Mineral yang terdapat pada abu dapat juga berasal
dari senyawa organik musalnya fosfor yang berasal dari dari protein dan
sebagainya. Disamping itu adapula mineral yang dapat menguap sewaktu
pembakaran, misalnya Na (Natrium), Cl (Klor), F (Fosfor), dan S (Belerang),
oleh karena itu abu tidak dapat untuk menunjukan adanya zat anorganik didalam
pakan secara tepat baik secara kualitatif maupun kwantitatif (Kamal, 1998).
V. KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
Dari riset yang
dilakukan pada rumput gajah terdapat perbedaan kandungan nutrisi (BK, PK, SK,
Lemak Kasar, dan Kadar Abu) rumput gajah yang ditanam pada jenis tanah yang
berbeda.
Daftar
Pustaka
Achmad,
W. 2009. Pengaruh Kadar Air Rumput
Gajah Sebagai Sumber Serat Pakan Lengkap Terhadap Nilai Nutrisi dan Kondisi
Fisik. Skripsi. Fakultas peternakan. Universitas Brawijaya Malang.
[B.E.T]
Balai Embrio Ternak. 1997. Performans Rumput Gajah cv. Taiwan. B.E.T. Cipelang. Bogor.
Darmawijaya,
M. 2000. Klasifikasi Tanah.
Gajah Mada Univ.Press. Yogyakarta.
Ella,
A. 2002. Produktivitas dan Nilai
Nutrisi Beberapa Renis Rumput dan Leguminosa Pakan yang Ditanam pada Lahan
Kering Iklim Basah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi
Selatan, Makassar.
Gullichsen,
J. dan H. Paulapuro. 1998. Environmental Control. Faped Oy.
Helsinki. Finlandia
Harjowigeno,S.
1996. Pengembangan lahan gambut untuk pertanian suatu peluang dan tantangan.
Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB.22 Juni 1996.
Kamal,
M. 1998. Nutrisi Ternak I. Rangkuman. Lab. Makanan Ternak, jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas
Peternakan, UGM. Yogyakarta.
McIlroy,
R.J. 1977. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. Pradnya Paramita, Jakarta.
Mutalib,A.A.,J.S.Lim, M.H.Wong, and L.
Konvai. 1991. Prociding of the International
Symposium on Tropical Peatland.
Kuching, MARDI and Dep. Of
Agriculture, Serawak Malaysia.
6-10 May 1991.
Noor,
M. 2001. Pertanian lahan Gambut Potensi dan Kendala. Penerbit Kanisius. Prasad,R. And J.F.
Power. 1997. Soil fertility management for sustainable
agriculture. Lewis Publisher. New York.
Soekardi
M., dan A. Hidayat. 1988. Extent and distribution of peatsoils of Indonesia. Third meeting
cooperative resarch on problem soils. CRIFC. Bogor.
Widiati,
R. dan Aryana, M., 1993. Pemberian
Ransum Rasional Menggunakan Bahan Baku Lokal Pada Usaha Tani Penggemukan Sapi
Potong Yang Menuju Maksimal Pendapatan. Laporan Penelitian. Universitas
Gajah Mada. Yogyakarta.
Williamson and Payne. 1993. Pengantar
Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University
Press. Jogjakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar